Minggu, 15 Mei 2016

tugas soshum kang abror



PELANGGARAN TATA TERTIB MA’HAD SUNAN AMPEL AL-‘ALY (MSAA)
( MAHASANTRI MSAA 2015 – 2016 )
(Tinjauan studi kasus di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang)

Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas akhir Sosiologi Hukum
Dosen Pengampu: Miftah Solehuddin, M.HI


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYymqINEvQjgGogXWVqvOzknznAG2S1XA4yW8r6ZKpaSyB4pbS-Bky3TZYYUPLBzL6SqyE3jGpCSbhHsazWLECfwbf2Dj5OIshraGIRreaIR6Ry1PkfLKF4Ons5Yv9MnUWyLSPZj9w-58/s320/Logo_UIN_Maulana_Malik_Ibrahim_Malang.jpg






Disusun oleh:
Ulil Abror        (14210047)



JURUSAN AL-AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016

A.      Latar belakang
Hukum adalah suatu aturan yang keberadaannya disepakati oleh semua komponen masyarakat, bersifat memaksa dan jika melanggarnya akan dikenai sanksi. Tetapi, lebih jauh lagi hukum bukan sekedar aturan saja, hukum adalah sebuah fenomena yang ada di masyarakat[1], hukum adalah sebuah metode, hukum adalah sebuah ilmu. Dan banyak sekali lagi pendefinisian dan penafsiran mengenai hukum oleh para ahli.
Dewasa ini, hukum berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu sendiri. Banyak sekali kajian mengenai hukum itu sendiri, hukum dikaitkan dengan sesuatu diluar hukum itu sendiri, seperti penggabungan antara antropologi dan juga hukum sehinnga muncul ilmu yang di sebut dengan antropologi hukum selain itu juga ada pembahasan hukum yang dikaji melalui bidang sosiologi munculah istilah sosiologi hukum dan masih banyak yang lainnya.
Sosiologi hukum itu sendiri merupakan penggabungan antara hukum dan sosiologi. Arti dari sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat, sehinnga jika dikaitkan dengan hukum, pengertian dari sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejalanya. Selain itu Sacipto Rahardjo memberikan devinisi, pengetahuan hukum terhadap  pola perilaku masyarkat  dalam konteks sosialnya[2]. Dalam buku lainnya diseebutkan sosiologi hukum adalah ilmu pengetahuan yang memahami, mempelajari, menjelaskan secara analitis empiris tentsng persoalan hukumyang di hadapkan dengan fenomena – fenomena lain di masyarakat.[3]
Sosiologi hukum digunakan untuk mengkaji sebuah hukum yang ada di masyarakat mengenai hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat. Bukan hanya hukum tertulis saja tetapi sosiologi hukum pun mampu di gunakan untuk mengkaji hukum-hukum atau aturan yang tidak tertulis.
 Salah satu cara menciptakan lingkungan yang kondusif aman dan tentram adalah dengan dibuatnya aturan. Baik itu aturan tertulis maupun aturan yang tidak tertulis tetapi yang sudah disepakati oleh semua komponen masyarakat.
Namun pada realitanya, adanya sebuah aturan masih belum mampu menjamin terciptanya sebuah lingkungan yang kondusif, aman dan tentram. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang diantaranya adalah ketidak cocokan antara aturan dengan yang diaturnya dan juga adanya pelanggaran terhadap aturan itu sendiri.
Berbicara mengenai pelanggaran, banyak sekali pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan yang ada disebabkan oleh bebagai macam faktor. Pelanggaran terhadap aturan bisa terjadi kapan saja dan juga dimana saja, termasuk di lingkungan kampus, UIN Malang contohnya.
UIN Malang sendiri merupakan salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia dan juga merupakan perguruan tinggi islam terbaik yang ada di indonesia. Ada banyak sekali faktor yang menjadikan UIN malang menjadi salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia beberapa diantaranya adalah adanya komitmen dari semua warga kampus untuk menjadikan UIN Malang sebagai world class university, selain itu program pendidikan di UIN Malang yang mengintergrasikan pendidkan kampus dengan pendidikan pesantren yang diwujudkan dengan adanya ma’had di dalam kampus.
Dibangunnya ma’had di  dalam area kampus sebagai upaya nyata pengintegrasian pendidikan kampus dengan pendidikan pesantren. Ma’had hanya diperuntukkan bagi mereka semua yang baru menjadi mahasiswa UIN Malang dan hanya boleh ditempati selam 2 semester atau 1 tahun saja. Jadi selain mendapatkan julukan sebagai mahasiswa baru semua peserta didik yang baru menjadi mahasiswa di UIN Malang juga mendapat julukan mahasantri, karena status mereka yang sudah kuliah tapi tetap nyantri di ma’had kampus.
Secara garis besar dalam buku pedoman universitas UIN Malang  disebutkan fungsi ma’had adalah sarana melatih dan memperdalam spiritual dengan cara mentradisikan shalat berjemaah, mentradisikan shalat malam, mentradisikan tadarus Al-Quran. Lalu yang ke dua adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif untuk pengembangan bahasa asing. Yang ke tiga melatih hidup berorganisasi lalu yang ke empat melatih kepedulian pada orang lain dan yang terakhir adalah memupuk dan melatih diri dalam keahlian profesi pilihan yang bermanfaat di masa depan.
Itulah alasa-alasan dibangunnya ma’had dalam area kampus. Semua fungsi ma’had tersebut diharapkan benar-benar terwujud dan berhasil menghasilkan mahasiswa / mahasantri yang menjadi seorang intelek yang ulama dan menjadi ulama yang intelek.
Salah satu upaya ma’had untuk mewujudkan cita-citanya yaitu fungsi ma’had benar-benar terwujud adalah dengan dibuatnya tata tertib kema’hadan untuk menjaga agar program-progam ma’had yang  ada bisa berjalan secara kondusif dan lancar. Tetapi sayangnya dalam realitanya, ada beberapa tata tertib kema’hadan yang dilanggar oleh mahasantri  sehingga tidak jarang program-program yang sudah di buat dan disusun tidak berjalan ssuai rencana.

B.       Metode Penelitian
Dalam pemgumpulan data, penulis menggunakan metode wawancara dan observasi. Oleh karena itu untuk mendapatkan data yang akurat, maka peulis melakukan wawancara terhadap beberapa narasumber dari kalangan Mahasantri sendiri untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi alasan mahasantri mengabaikan tata tertib ma’had. Sedangkan observasi penulis lakukan terhadap beberapa peraturan-peraturan dari ma’had serta terhadap realita yang terjadi dikalangan Mahasantri.
C.      Paparan Teori
A.  Teori Friedrich Karl Von Savigny
Hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat[4].
B.  Teori Jeremy Bethan
Dalam teori tentang hukum Bethan berpendapat, manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan.
C.  Terwujudnya perilaku hukum
Menurut Friedman : perilaku hukum adalah soal pilihan yang berurusan dengan motif, dan gagasan orang. Walaupun begitu hal ini bersifat kompleks dan dibagi dalam 4 katagori :
a)         Kepentingan sendiri : kepentingan sendiri dapat meletakan perilaku seseorang pada perilaku hukum.
b)        Sensitif terhadap sanksi : sanksi merupakan salah satu alasan yang fapat terwujudnya perilaku hukum.
c)         Tanggapan terhadap perilaku sosial : perilaku seseorang dalam cara ini atau cara itu disebabkan apa yang oleh keluarga , teman, atau anggota kelompok dilakukan.
d)        Kepatuhan : Friedman mengatakaan bahwa orang-orang yang mentaati hukum disebabkan karena mereka berfikir bahwa bila melampauinya adalah immoral atau ilegal.[5]
D.    Kesadaran hukum
Menurut Soerjono Soekanto mengemukakan empat indikator kesadaran hukum, yaitu:
a)         Pengetahuan tentang hukum, seseorang mengetahui bahwa prilaku-prilaku tertentu itu telah diatur oleh hukum. Peraturan hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Perilaku tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.
b)        Pemahaman hukum, seorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu,
c)         Sikap hukum, setiap orang memberikan penilaiannya terhadap hukum.
d)        Pola prilaku hukum, dimana masyarakat mematuhi peraturan yang berlaku. [6]
Keempat indikator tadi sekaligus menunjukkan pada tingkat-tingkatan kesadaran hukum tertentu di dalam perwujudannya. Apabila seseorang hanya mengetahui hukum, maka taraf kesadaran hukumnya masih rendah, tetapi kalau seseorang dalam suatu masyarakat telah berperilaku sesuai dengan hukum, maka kesadaran hukumnya tinggi.

E.   Teori efektivitas hokum
menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu:
a)         Faktor hukummya sendiri (Undang-undang).
b)        Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkaan hukum.
c)         Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.
d)        Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
e)         Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. [7]
Kelima faktor diatas dapat dilihat dari suatu perbandingan antara realitas hokum dengan ideal hokumnya.
D. Menurut Indang Sulastri yang dikutip oleh Miftahus dalam artikel Implementasi Perwali Kota Malang no 19 tahun 2013, bahwa tingkat kepatuhan hukum setiap warga masyarakat dapat dikelompokkan menjadi (1) compliance; (2) identification; dan (3) legal conscience[8].
a)         Compliance adalah kepatuhan hukum karena unsur dipaksa atau lebih tepatnya kepatuhan tercipta apabila adanya kehadiran figur aparat. Sebagai contoh adalah kepatuhan hukum dalam berlalu lintas di jalan raya. Ketika tidak ada figur aparat polisi yang sedang bertugas mengatur lalu lintas di jalan, maka orang berani melanggar rambu-rambu lalu lintas.
b)        Identification adalah tingkat kepatuhan terhadap hukum karena mengidentikkan perilaku bersangkutan dengan perilaku lingkungan, jadi peran lingkungan sosial merupakan faktor terciptanya kepatuhan hukum. Misalnya, seorang polisi lalu lintas akan selalu mematuhi marka karena statusnya sebagai aparat, dan akan malu apabila dia melanggar akan ditilang oleh teman satu kerjanya sendiri.
c)         Legal conscience adalah patuh karena adanya dorongan dari dalam diri sendiri. Misalnya, kesadaran seseorang akan selalu membuang sampah pada tempatnya. Hal ini karena adanya kesadaran dalam hati nuraninya akan dampak jika membuang sampah sembarangan.  



D.      Kontekstualisasi kasus

Ma’had Sunan Ampel Al-Ali merupakan merupakan salah satu sarana  pembelajaran yang di sediakan UIN Malang dalam rangka menciptakan seorang sarjana yang intelek tapi memahami ilmu agama, dan seorang ulama yang intelek. Dalam pelaksanaanya, untuk menunjang program intergrasi antara pendidikan pesantren dan pendidikan di universitas yang diwujudkan dengan adanya Ma’had Sunan Ampel Al-Ali sebagai sarana melaksanakan program tersebut, Ma’had Sunan Ampel Al-Aly dibekali dengan banyak sesuatu, salah satu diantaranya adalah tata tertib ma’had untuk menjaga dan menciptakan lingkungan yang kondisif di area ma’had. Tata tertib ma’had ini dibuat sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan yang aman dan tentram, sehingga dengan adanya lingkungan yang aman dan tentram, diharapkan semua program ma’had dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Dengan terlaksanakannya semua program ma’had secara baik dan menyeluruh diharapkan cita-cita UIN Malang untuk menciptakan seorang sarjana yang intelek tapi memahami ilmu agama, dan seorang ulama yang intelek dapat terwujud.
Dalam realitanya meskipun UIN Malang merupakan universitas yang berbasis islam, yang artinya pelajaran mengenai islam merupakan salah satu pelajaran pokok yang wajib diajarkan dalam perkuliahan, mahasiswa mahasiswa di UIN Malang atau calon mahasiswa yang mendaftrakan dirinya di UIN Malang, tidak semua dari mereka berasal dari latar belakang pondok pesantren atau sekolah yang berbasis islam. Banyak dari mereka yang latar belakangnya sekolah negeri atau sekolah swasta, yang pelajaran agama bukan menjadi pelajaran yang sangat diprioritaskan.
Banyaknya calon mahasiswa yang mendaftar dan menjadi mahasiswa baru di UIN Malang, secara otomatis menyebabkan jumlah mahasantri di Ma’had Sunan Ampel Al-Ali meningkat dan bertambah, hal ini terjadi karena kebijakan kampus yang mewajibkan semua mahasiswa baru UIN Malang harus tinggal di dalam ma’had selama setahun.
Bertambahnya mahasantri baru dari tahun ke tahun sampai tahun 2015 ini yang mencapai tiga ribuan orang mahasantri yang tinggal di ma’had menyebabkan ma’had memiliki beberapa permasalahan, salah satu diantaranya adalah pelanggaran yang dilakukan mahasantri terhadap tata tertib ma’had.
Pelanggaran tata tertib ini dilakukan oleh mahasantri baik mereka yang pernah mondok sebelumnya atau pun yang belum pernah. Bentuk pelanggaran yang mereka lakukan bervariasi dan beragam. Muali dari pelanggaran untuk tidak terlambat masuk mabna sebelum jam 9 malam, sampai larangan untuk  tidak membawa sepeda motor, mereka lakukan.
Saat melakukan observasi lapangan, didapati pelanggran-pelanggaran yang dilakukan oleh mahasantri. Beberapa diantaranya adalah masuk mabna di atas jam 9 malam, membawa sepeda motor, dan juga berpakaian yang tidak menutupi aurat.
Berikut ini gambar-gambar bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh mahasantri
(gambar mahasantri yang terkunci karena melanggar aturan ma’had, masuk kedalam mabna sebelum jam 9)

(gambar mahasantri yang menerima iqob (hukuman) dari seorang musyrif karaena terlambat masuk mabna)
(gambar mahasantri yang berjalan di lorong mabna, tidak memakai pakaian yang menutupi aurat)

(gambar mahasantri yang membawa dan menggunakan sepeda motor di area ma’had)
 Ketika ditanya mengenai alasan kenapa mereka melanggar aturan masuk mabn, jawaban mereka beragam, “Iya tau, karena gini kang, mepet waktunya kang, ppba aja pulangnya jam 8, terus ustadnya kadang-kadang pulangnya gak pas jam 8, lebih. Masih belum cari  makan, wajarlah kalo telat, kan tahun lalu cowoknya paling lambat jam 10 malam baru ditutup, sekarang jam 9 sudah ditutup, jadi waktunya kurang kang.” Ada juga yang menjawab “Habis keluar nugas cari makan, tadi masih antri nasi goreng mas” ada juga yang menjawab “rumah saya agak jauh terus gak ada yang nganterin saya jadi terpaksa saya membawa sepeda ke ma’had kang”
Lalu ketika ditanya mengenai niatan mereka melnggar tata tertib ini disengaja atau tidak, ada yang menjawab “ini gak disengaja, karena emang kebutuhan saja” dan sebagian yang lain menjawab pelanggaran ini memang disengaja, hal itu mereka lakukan karena menurut mereka, mereka punya alasan yang kuat.
Lalu ketika ditanya mengenai seberapa seling melanggar tata tertib, jawaban mereka beragam, ada yang mengatakan sudah sering ada yang mengatakan jarang dan ada pula yang mengatakan ini pelanggaran pertama yang dia lakukan.
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap mahasantri yang melakukan pelnggaran baik yang dipaparkan atau tidak dalam artikel ini jika dikaitkan dengan teori-teori diatas, dimulai dari teori milik Teori Friedrich Karl Von Savigny yang mengatakan bahwa Hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat. Sebenarnya warga MSAA sudah sadar mengenai hukum hal itu terbukti dengann adanya tata tertib ma’had tetapi sayangnya taingkat kesadaran itu hanya sampai pada pembuatan hukum saja dan belum sampai pada tingkat penerapan atau pengimplimentasian tata tertib ma’had.
Jika menurut toeri Jeremy Bethan yang mengatakan manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Pelanggaran yang dilakukan oleh mahasantri dapat dibenarkan karena alasan mahasantri melakukan pelanggaran tersebut karena adanya sebuah kebutuhan yang memang harus terpenuhi. Melanggar tata tertib ma’had untuk mendapatkan hal yang di inginkan lebih utama dri pada mentaatinya teyapi mengorbankan apa yang diinginkannya, perspektif maha santri.
Jika ditinjau melalui teori friedman tentang terwujudnya perilaku hukum, maka alasaan kenapa terjadinya pelanggaran hal itu disebabkan karena kepentingan sendiri yang mengalahkan sikap patuh terhadap tata tertib ma’had.
Lalu jika ditinjau melalui teori Soerjono Soekanto tentang kesadaran hukum, maka dapat disimpulkan pemahaman akan hukum yangkurang oleh mahasntri, sebab mereka sudah tahu bahwa ada tata tertib ma’had tetapi tetap saja meraka melanggarnya.
Jika ditinjau melalui teori Soerjono Soekanto mengenai efektivitas hokum, maka alaasan kenapa tat tertib ma’had tidak efektif dijalankan karena faktor budaya dari para pelanggar yang memang kurang baiik, hal ini berdasarkan karena Faktor hukummya sendiri (Undang-undang), Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkaan hukum, Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum, Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan menurut penulis baik-baik saja, karen ahanya memang beberapa  mahasantro saja yang melanggar tata tertib ma’had.

E.       Kesimpulan dan Saran
a.      Kesimpulan
Dari paparan diatas, dapat disimpulkan banyak sekali teori-teori yang menjelaskan kenapa tata tertib ma’had dilanggar. Mulai dari adanya kepentingan diri sendiri, faktor budaya pelanggar, sampai  ketiudak pahaman mengenai hukum oleh mahasantri. Sehingga tidak terciptanya sebuah sikap kepatuhan terhadap hukum yang menyebabkan tidak efektif diberlakukannya tata tertib mabna.
Selain itu dapat disimpulkan, ternyata sebuah aturan bukanlah suatuu kebenaran yang mutlak yang mendatangkan kebaikan. Aturan hanayalah sesuatu yang dipandang baik dan diharapkan dengan itu dapat mendatangkan kebaikan dan kebahagiaann. Hal ini terbukti dengan  adanya pelanggara yang dilakukan  terhadap aturan untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagian yang lain.
b.      Saran
Dari paparan diatas, kebanyakan pelanggrana yang terjadi karena kurangnya kesadaran hukum oleh mahasantri terhadap tata tertib ma’had yang ada. Karena itu, alangkah baiknya jika MSAA melakukan upaya untuk meningkatkan kesadran hukum mahasantri dengan cara melakukan penyuluhan dan penerangan terhadap tata tertib ma’had. Penyuluhan yang berisikan hak dan kewajiban di  bidang-bidang tertentu, serta manfaat bila tata tertib dilaksakan dengan baik dan tidak dilanggar.



DAFTAR RUJUKAN
Sucipto Rahaedjo, Ilmu Hukum, ( Jakarta :Citra Aditya Bakti, 2014)
Zainuddin, sosiologi hukum,  (Jakarta : Sinar Grafika, 2012)
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, ( 5Bandung :Refika Aditama, 2010)
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,  (Jakarta : Rajawali Press 2005)
Soleman B. Taneko, pokok-pokok studi hukum dalam masyarakat, (jakarta : Rajawali Press, 1993)
Soerjono soekanto, Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum, (Jakarta: cv rajawali Press, 1982
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada,2008
Miftahus Sholehudin,Implementasi Perwali Kota Malang Nomor 19 Tahun 2013, http://www.kompasiana.com/miftahus/implementasi-perwali-kota-malang-nomor-19-tahun-2013 diakses pada tanggal 2 Mei 2016



       



[1] Sucipto Rahaedjo, Ilmu Hukum, ( Jakarta :Citra Aditya Bakti, 2014), 5
[2] Zainuddin, sosiologi hukum,  (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), 1

[3] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, ( Bandung :Refika Aditama, 2010), 3
[4] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,  (Jakarta : Rajawali Press 2005), 38
[5] Soleman B. Taneko, pokok-pokok studi hukum dalam masyarakat, (jakarta : Rajawali Press, 1993), 50
[6] Soerjono soekanto, Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum, (Jakarta: cv rajawali Press, 1982), 140
[7] Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada,2008),  8
[8] Miftahus Sholehudin,Implementasi Perwali Kota Malang Nomor 19 Tahun 2013, http://www.kompasiana.com/miftahus/implementasi-perwali-kota-malang-nomor-19-tahun-2013